BAI’US SALAM (JUAL BELI SISTEM INDEN ATAU PESAN)
Kata salam berasal dari kata
at-taslîm (التَّسْلِيْم). Kata ini semakna dengan as-salaf (السَّلَف) yang bermakna memberikan sesuatu dengan
mengharapkan hasil dikemudian hari. Pengertian ini terkandung dalam
firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
(kepada mereka dikatakan):
“Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada
hari-hari yang telah lalu”.[al-Hâqqah/69:24]
Menurut
para Ulama, definisi bai’us salam yaitu jual beli barang yang disifati (dengan
kriteria tertentu/spek tertentu) dalam tanggungan (penjual) dengan pembayaran
kontan dimajlis akad.[2] Dengan istilah lain, bai’us salam adalah akad
pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan
pembayaran tunai pada saat akad berlangsung.
Dengan demikian, bai’us
salam memiliki kriteria khusus bila dibandingkan dengan jenis jual beli
lainnya, diantaranya:
1. Pembayaran dilakukan
didepan (kontan di tempat akad), oleh karena itu jual beli ini dinamakan juga as-salaf.
2. Serah terima barang
ditunda sampai waktu yang telah ditentukan dalam majlis akad[3]
Para
ulama sering mengungkapkan proses akad jual beli semacam ini dengan ungkapan,
“Zaid seorang menyerahkan seribu dinar kepada Ali supaya Ali menyerahkan lima
ton beras kepadanya.”
Pembeli, yaitu Zaid
dinamakan al-muslim atau al-muslif atau Rabbus Salam. Sedangkan penjual yaitu
Ali dinamakan al-muslam Ilaihi atau al-muslaf Ilaihi. Sementara pembayaran
kontan yaitu seribu dinar dinamakan ra’su mâlis salam (Modal Salam) dan barang
yang dipesan yaitu beras dinamakan al-muslam fihi atau Dainus Salam (hutang
salam).[4]
2.2 HUKUM BAI’US SALAM (JUAL
BELI SISTEM PESAN)
Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur`ân dan sunnah serta ijma dan juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyâsush shahîh).
a. Dalam al-Qur`ân, Allah
Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah
ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. [al-Baqarah/2:282].
Sahabat yang mulia
Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu menjadikan ayat ini sebagai landasan
membolehkan jual beli sistem pesan ini. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan,
“Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf (as-salam) yang terjamin hingga tempo
tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam
al-Qur’ân. (Kemudian beliau membaca firman Allâh Azza wa
Jalla artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisnya. (Hadits ini dishahihkan al-Albâni t dalam kitab Irwâ’ul Ghalîl,
no. 340 dan beliau t mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan imam asy-Syâfi’i t no.
1314, al-Hâkim, 2/286 dan al-Baihaqi 6/18).
Firman Allâh Azza wa Jalla
diatas, yang artinya, “apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai,”
bersifat umum, artinya meliputi semua yang tidak tunai, baik pembayaran maupun
penyerahan barang. Apabila yang tidak tunai adalah penyerahan barang maka itu
dinamakan bai’us salam.[5]
b. Dalam hadits Abdullâh
bin Abbâs Radhiyallahu anhu diriwayatkan :
قَدِمَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah telah biasa memesan
buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaknya ia memesan dalam
takaran, timbangan dan tempo yang jelas (diketahui oleh kedua belah pihak).”
[Muttafaqun ‘alaih]
c. Para Ulama telah
berijmâ’ (berkonsensus) tentang kebolehan bai’us salam ini, seperti diungkapkan
Ibnu al-Mundzir t dalam al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudâmah t menguatkan penukilan
ijma’ ini. Beliau t menyatakan, “Semua ulama yag kami hafal sepakat menyatakan
as-salam itu boleh.”[6]
d. Kebolehan akad jual
beli salam (pemesanan) ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan
manusia. Syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu- menjelaskan,
“Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan jual beli ini boleh. Karena kebutuhan
dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang yang
membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran tunai sementara
pembeli beruntung karena bisa mendapatkan barang dengan harga lebih murah dari
umumnya. Jadi, manfaatnya kembali ke kedua pihak.”[7]
Oleh karena itu, syaikh
Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu- mengatakan, “Pembolehan
mua’amalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan kemurahan syariat
Islâm. Karena mu’amalah ini berisi hal-hal yang bisa memberikan kemudahan dan
mewujudkan kebaikan bagi manusia, disamping juga bebas dari riba dan seluruh
larangan Allâh.[8]
2.3 KEBUTUHAN MASYARAKAT TERHADAP BAI’US SALAM
Bai’us Salam ini dibutuhkan oleh banyak kalangan, misalnya orang-orang yang memiliki kemampuan dan keterampilan namun mereka tidak miliki modal yang cukup untuk menjalankan apa yang menjadi obsesinya. Mereka ini bisa menjual sampel produk mereka (sebelum ada produk dalam jumlah besar) dan mendapatkan uang kontan. Uang kontan ini bisa mereka manfaatkan untuk menyiapkan bahan baku dan biaya operasinal pengadaan produk, seperti untuk membeli bibit, alat, pupuk dan lain-lain; Bisa juga untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga selama proses pengerjaan produk tersebut. Kemudian setelah produk siap, mereka bisa menyerahkannya sesuai dengan pesanan pada waktu yang telah ditentukan. Apabila produknya tidak dapat memenuhi pesanan maka ia harus mencari dan mendapatkan produk orang lain untuk memenuhi pesanan. Hal ini karena barang (al-Muslam fihi) tidak boleh ditentukan harus dari hasil produksi mereka saja [9].
Bila
melihat praktik jual beli salam diatas, kita dapati kemaslahatan atau
keuntungan akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Penjual memperoleh
kemaslahtan dan keuntungan berupa :
1. Mendapatkan modal untuk
menjalankan usahanya dengan cara halal. Sehingga ia dapat menjalankan dan
mengembangkan usaha tanpa terlibat riba (bunga). Sebelum jatuh tempo, penjual
dapat menggunakan uang ini untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2. Penjual memiliki
keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu
antara transaksi dan penyerahan barang pesanan cukup lama.
3. Tidak perlu upaya dan
mengeluarkan biaya tambahan untuk menghabiskan produk, karena telah dibeli
sebelumnya.
Pembeli pun memperoleh keuntungan
dan manfaat, seperti :
1. Jaminan mendapatkan barang (al-muslam fihi) sesuai dengan kebutuhan dan tepat waktu.
2. Mendapatkan barang yang
dibutuhkan dengan harga lebih murah bila dibandingkan membeli saat membutuhkan
barang itu, karena :
a. Pembeli telah
memberikan uang cash dalam tempo salam (pemesanan) tersebut, padahal bisa saja
ia memanfaatkan uang tunai ini untuk keperluan lain. Sehingga pantas bila
pembeli mendapatkan harga lebih murah.
b. Pembeli komitmen
membeli produk tertentu padahal itu beresiko. Sebab bisa saja, ketika barang
diserahkan ternyata harga di pasar lebih murah karena stok barang banyak atau
permintaan kurang.
c. Terkadang, pembeli
terpaksa harus mencari kesempatan untuk memasarkan barang yang telah dipesan
itu, jika dia membelinya bukan untuk kebutuhan pribadinya saja.
Dengan ini nampak jelas
bahwa jual beli salam merupakan sarana efektif untuk menyatukan dua unsur
penting produksi yaitu harta dan aktifitas produksi dengan metode yang diterima
semua pihak terkait dalam pembagian hasil.[10]
Namun
perlu diwaspadai perilaku buruk sebagian pemilik modal yang memancing ikan di
air keruh, ketika para petani atau pengusaha industri sangat membutuhkan modal
cepat. Dalam kondisi sepert ini, terkadang sebagian pemilik modal
“memanfaatkan” jual beli salam sebagai sarana menekan harga barang hingga
sangat terpuruk. Seandaianya bukan karena kebutuhan mendesak, tentu mereka
menolak tawaran modal tersebut. Ini tidak bisa dibenarkan dan terlarang karena
masuk dalam kategori bai’ul mudhthar (jual beli dalam keadaan terpaksa).
2.4 RUKUN JUAL BELI SALAM
Jual beli ini memiliki tiga rukun yaitu :
1. Ada transaktor, yaitu al-muslim dan al-muslam ilaihi
2. Ada modal as-salam (ra’su mâlis salam).
3. Ada shighah (akad) yaitu ijab dan qabûl, baik tertulis maupun terucap.
Contoh, perusahaan A di
kota semarang memesan seratus mobil merek Toyota Saluna seri tertentu kepada
perusahaan Toyota dengan membayar tunai 20 milyar rupiah di majlis akad (tempat
transaksi) dengan perjanjian mobil harus dauh terkirim ke pelabuhan Tanjung
Emas di Semarang setelah dua bulan dari waktu transaksi.
Dalam contoh diatas, rukun jual
beli salam sudah terpenuhi, yaitu :
a. Al-Muslim adalah perusahaan A sedangkan al-muslam Ilaihi adalah perusahaan Toyota
b. Modal as-salam yaitu uang 20 milyar rupiah yang dibayar kontan
c. Shighah (transaksi) yaitu ijab dan qabul ketika transaksi sedang berlangsung.
2.5 SYARAT-SYARAT JUAL BELI
SALAM
Disamping rukun, untuk keabsahan jual beli salam, para Ulama menetapkan syarat-syarat sah. Secara garis besar, para Ulama menggolongkan syarat-syarat ini menjadi dua yaitu :
1.
Syarat umum jual beli dan ini pernah dimuat dalam majalah Assunnah edisi 09/Thn
XIII/Dzulhijjah 1431/Desember 2009M
2. Syarat khusus pada jual beli salam ada enam yaitu :
2. Syarat khusus pada jual beli salam ada enam yaitu :
• Jual beli ini pada barang-barang
yang memiliki kriteria jelas[11]
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu dengan pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas, seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain sebagainya. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak dan menghindarkan sengketa.
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu dengan pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas, seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain sebagainya. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak dan menghindarkan sengketa.
Dalam
memberikan kriteria masuk dalam syarat ini perlu diperhatikan bahwa masalah
kriteria ini akan berbeda dari zaman ke zaman. Sehingga tidak semua yang
disampaikan para Ulama ahli fiqh zaman dulu sebagai kriteria barang yang tidak
bisa diberikan kreteria jelas itu pasti benar, sebab dengan perkembangan
teknologi dan pengetahuan muncul alat yang dapat mendeteksi criteria dengan jelas
sehingga dapat diserahkan sesuai dengan criteria yang disepakati ketika
akad.[12]
• Pembayaran dilakukan pada saat
akad (transaksi)
Sebagaimana terfahami dari namanya, yaitu as-salam (penyerahan), atau as-salaf (mendahulukan), maka para Ulamâ’ sepakat bahwa pembayaran jual beli salam itu harus dilakukan di muka atau kontan saat transaksi, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Jika pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, maka akadnya berubah menjadi akad jual beli hutang dengan hutang (bai’ud dain bid dain) yang terlarang dan hukumnya haram. Diantara contoh yang terlarang, memesan barang dengan tempo setahun, kemudian pembayaran dilakukan dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan berikutnya.
Sebagaimana terfahami dari namanya, yaitu as-salam (penyerahan), atau as-salaf (mendahulukan), maka para Ulamâ’ sepakat bahwa pembayaran jual beli salam itu harus dilakukan di muka atau kontan saat transaksi, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Jika pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, maka akadnya berubah menjadi akad jual beli hutang dengan hutang (bai’ud dain bid dain) yang terlarang dan hukumnya haram. Diantara contoh yang terlarang, memesan barang dengan tempo setahun, kemudian pembayaran dilakukan dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan berikutnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Allâh mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan
dengan kontan. Apabila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang
tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan
as-salam, karena ada pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka
itu termasuk kategori jual beli hutang dengan hutang, bahkan itulah praktik
jual beli hutang dengan hutang yang sebenarnya, dan beresiko tinggi, serta
termasuk praktek untung-untungan.”[13]
• Penyebutan kriteria, jumlah dan
ukuran barang dilakukan saat transaksi berlangsung
Dalam akad jual beli salam, penjual dan pembeli wajib menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan berpengaruh pada harga barang.
Dalam akad jual beli salam, penjual dan pembeli wajib menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan berpengaruh pada harga barang.
Contoh ; Apabila Ali
hendak memesan beras kepada Budi, maka Ali wajib menyebutkan jenis beras yang
diinginkan (misalnya Beras Rojolela), asal barangnya, kualitas dan
kuantitasnya, perkarung diisi berapa kilogram serta produk tahun kapan.
Kriteria-kriteria
ini pasti berpengaruh pada harga. Karena harga beras akan berbeda sesuai dengan
perbedaan jenis, kualitas, asal daerah dan tahun panennya. Perhatikanlah sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits di atas :
من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Barangsiapa memesan
sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran, timbangan serta tempo
yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]
• Jual beli salam harus ditentukan
dengan jelas tempo penyerahan barang pesanan
Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada kesepakatan tentang tempo penyerahan barang pesanan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada kesepakatan tentang tempo penyerahan barang pesanan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
sampai tempo yang jelas
[Muttafaqun ‘alaih]
juga firman Allâh
Subhanahu wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. [al-Baqarah/2:282]
Ayat dan hadits diatas
menunjukkan ada pensyaratan tempo yang jelas dalam jual beli salam.
• Barang pesanan sudah tersedia di
pasar saat jatuh tempo agar dapat diserahkan pada waktunya[14]
Kedua belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan spekulasi perjudian, yang keduanya diharamkan dalam syari’at Islam.
Kedua belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan spekulasi perjudian, yang keduanya diharamkan dalam syari’at Islam.
Seandainya barang pesanan
dipastikan tidak ada pada saat jatuh tempo maka jual beli salam tidak sah.
Disamping menyebabkan tidak sah, pengabaian syarat ini juga akan sangat
berpotensi memancing percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap
perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti
dilarang.
• Barang pesanan adalah barang
yang pengadaannya ada dalam tanggung jawab penjual, bukan dalam bentuk satu
barang yang telah ditentukan dan terbatas.
Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan pengadaannya, diserahkan sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki kebebasan dalam pengadaan barang yang sesuai dengan semua kreteria dan ukuran atau jumlah yang diinginkan pembeli. Penjual bisa mendatangkan barang miliknya yang telah tersedia atau membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini ditetapkan agar akad salam terhindar dari unsur gharar (penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, karena faktor tertentu, penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya atau dari perusahaannya.
Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan pengadaannya, diserahkan sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki kebebasan dalam pengadaan barang yang sesuai dengan semua kreteria dan ukuran atau jumlah yang diinginkan pembeli. Penjual bisa mendatangkan barang miliknya yang telah tersedia atau membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini ditetapkan agar akad salam terhindar dari unsur gharar (penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, karena faktor tertentu, penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya atau dari perusahaannya.
Contoh :
Seseorang melakukan jual beli salam untuk memesan sebuah mobil tertentu misalnya mobil pribadi milik Ali satu-satunya. Barang yang telah ditentukan seperti ini tidak bisa dijadikan obyek dalam jual beli salam. Karena keabsahan akad jual belinya sangat tergantung pada barang yang telah ditentukan itu. Ini sangat berbeda dengan jual beli salam yang hanya menentukan barang dengan criteria-kriteria tertentu, sehingga si penjual bebas mencarikan harus berupa pesanan yang diserahkan setelah jatuh tempo. Tidak bolehnya dengan barang terbatas ini karena barang tersebut bisa saja hilang sebelum jatuh tempo penyerahan sehingga jadilah gharar.
Seseorang melakukan jual beli salam untuk memesan sebuah mobil tertentu misalnya mobil pribadi milik Ali satu-satunya. Barang yang telah ditentukan seperti ini tidak bisa dijadikan obyek dalam jual beli salam. Karena keabsahan akad jual belinya sangat tergantung pada barang yang telah ditentukan itu. Ini sangat berbeda dengan jual beli salam yang hanya menentukan barang dengan criteria-kriteria tertentu, sehingga si penjual bebas mencarikan harus berupa pesanan yang diserahkan setelah jatuh tempo. Tidak bolehnya dengan barang terbatas ini karena barang tersebut bisa saja hilang sebelum jatuh tempo penyerahan sehingga jadilah gharar.
Tidak
boleh juga dalam jual beli salam ini membatasinya dengan menyatakan produk si
fulan saja atau dari kebunnya fulan saja. Kecuali bila produk perusahaan besar
yang memiliki karakteristik tertentu. Seperti membeli mobel mercy seri 200
model tahun 1994 misalnya, ini diperbolehkan karena tidak dimiliki perusahaan
selainnya.[15]
Jika memungkinkan,
penyerahan barang pesanan dilakukan di tempat akad berlangsung dan bila tidak
memungkinkan maka harus ditentukan tempat penyerahannya dalam akad tersebut.
Apabila bisa terjadi
kesepakatan tentang tempat penyerahannya maka diperbolehkan menetapkannya dan
bila tidak terjadi kesepakatan maka kembali ketempat akad terjadi apabila
memungkinkan.[16]
Demikianlah syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam akad jual beli salam, semoga dapat memberikan
pencerahan kepada masyarakat dalam masalah ini.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat, kitab Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 148; Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 9/48; Master Textbook Fiqhul Mu’âmalât, Program S2 MEDIU, hlm. 225 dan al-Fiqhul Muyassar, hlm. 92
[2]. Lihat, kitab Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 148
[3]. Nihâyatul Muhtâj Syarhu Minhâjit Thâlibîn, ar-Ramli. Lihat, kitab Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/183
[4]. Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/183
[5]. Lihat penjelasan syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t tentang hal ini dalam Syarhil Mumti’ 9/49
[6]. Al-Mughni, 6/385
[7]. Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 150
[8]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 2/60
[9]. Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/187
[10]. Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/187-188 dengan penambahan dari penulis.
[11]. Lihat, Minhâjus Sâlikîn Wa Taudhîhul Fiqh fiddin, Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’; di hlm. 150, Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 151 dan Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/196
[12]. Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/197.
[13]. I’lâmul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim, 2/20
[14]. Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/200
[15]. Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/194
[16]. Lihat, al-Mulakhkhashul Fiqhi, 2/59.
_______
Footnote
[1]. Lihat, kitab Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 148; Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 9/48; Master Textbook Fiqhul Mu’âmalât, Program S2 MEDIU, hlm. 225 dan al-Fiqhul Muyassar, hlm. 92
[2]. Lihat, kitab Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 148
[3]. Nihâyatul Muhtâj Syarhu Minhâjit Thâlibîn, ar-Ramli. Lihat, kitab Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/183
[4]. Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/183
[5]. Lihat penjelasan syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t tentang hal ini dalam Syarhil Mumti’ 9/49
[6]. Al-Mughni, 6/385
[7]. Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 150
[8]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 2/60
[9]. Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/187
[10]. Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/187-188 dengan penambahan dari penulis.
[11]. Lihat, Minhâjus Sâlikîn Wa Taudhîhul Fiqh fiddin, Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’; di hlm. 150, Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 151 dan Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/196
[12]. Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/197.
[13]. I’lâmul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim, 2/20
[14]. Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/200
[15]. Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/194
[16]. Lihat, al-Mulakhkhashul Fiqhi, 2/59.
Tidak ada komentar: